Senin, 23 Mei 2011

Mitos tentang kaum pendatang

Sebuah berita di koran gratis London, Evening Standard, Rabu 18 Mei, menyebutkan jumlah warga pendatang di Inggris meningkat hampir 40% dalam waktu delapan tahun belakangan.


Imigran di Inggris
Mengutip Kantor Statistik Nasional, berita itu melaprokan 9,1 juta orang yang tinggal di Inggris dan Wales, berasal dari kaum pendatang. Jumlah itu berarti satu dari enam penduduk.
Penyebabnya, seperti ditulis koran itu adalah tingkat imigrasi dan juga tingkat kelahiran di kalangan yang disebut sebagai etnis minoritas.
Jika dilihat dari etnisnya, maka jumlah peningkatan terbesar selama delapan tahun adalah di kalangan sesama warga Eropa, termasuk kawasan Eropa timur, seperti Ceko, Hungaria, maupun Polandia,
Warga negara-negara tersebut, sebagai bagian dari Uni Eropa, memang bebas masuk ke Inggris dan mencari pekerjaan.
Sementara etnis dari kawasan Asia -yang perlu izin berbelit untuk masuk ke Inggris- yang mencapai pertumbuhan terbesar adalah Cina dan India.
Sedangkan dari jumlah totalnya, maka yang terbanyak adalah etnis India, dengan 1,4 juta warga, dan Pakistan yang jumlahnya mencapai satu juta warga lebih.
Mitos imigrasi
Di balik berita tentang angka-angka itu, muncul kekhawatiran terpicunya kembali perdebatan tentang imigrasi.

Imigran di Inggris
Mitos yang berkembang di Inggris -dan juga mungkin di sejumlah negara-negara maju lainnya- adalah kaum pendatang mengambil keuntungan semata, baik itu lapangan pekerjaan, sistem tunjangan sosial, maupun kesehatan.
Jika disederhanakan, maka mitos itu kira-kira 'kaum pendatang yang hidup susah payah di negaranya kemudian datang ke Inggris untuk enak-enakan.'
Bahkan bisa ditambah bumbu 'pedas' bahwa kaum pendatang bikin susah warga asli, karena lapangan kerja semakin sedikit dan sarana kesehatan jadi semakin berkurang.
Benar atau tidaknya, sulit dibuktikan karena kepekaan masalah ini dan sekalgius pengkaitannya dengan politik.
Ada partai politik yang berupaya mencari suara dengan janji pengetatan arus imigrasi.
Bahkan pemerintah koalisi David Cameron dan Nick Clegg menempuh kebijakan pengurangan jumlah imigrasi kotor sampai 'puluhan ribu setiap tahunnya.'
Tingkat imigrasi kotor adalah selisih antara orang yang datang dengan orang yang pergi.
Kebijakan itu merupakan janji Partai Konservatif pimpinan David Cameron, walau sebenarnya ditentang rekan koalisi Liberal Demokrat-nya Nick Clegg.
Tapi sebagai mitra junior, Nick Clegg tak bisa apa-apa.
Keberuntungan?
Bagaimanapun saya -sebagai salah seorang pendatang- mencoba mencari-cari aspek positif dari migrasi.
Salah satunya -seperti yang pernah diberitakan situs BBC- adalah data pada tahun 2009 bahwa para pendatang di Inggris berperan dalam mendongkrat Produk Domestik Bruto Inggris sebesar 0,38% atau setara dengan nilai £4,9 miliar.
Tapi itupun langsung dibantah oleh kelompok anti imigrasi, karena menurut mereka sumbangan terhadap ekonomi nasional itu amat kecil dan yang jauh lebih menikmati keberuntungan adalah para pendatang sendiri.
Dan jika anda bertanya apakah saya termasuk yang menikmati keberuntungan, sulit untuk menjawabnya karena saya tak bisa membandingkan apakah hidup saya -jika dulu enam belas tahun lalu tidak pindah ke Inggris- akan lebih baik atau tidak.
Tak ada mesin waktu untuk bisa menjawabnya.
Tapi kisah Mihir Bose, seorang penulis asal India, mungkin bisa menjadi ilustrasi. Tamat universitas dia menjadi akuntan, pulang kampung ke India dan merupakan mitra di sebuah perusahaan akuntan terkemuka di India.
Soalnya, perusahaan itu dipimpin oleh abang iparnya. Karena bau nepotisme, maka dia jadi bisa menikmati kemewahan dengan supir, pembantu, dan masuk klub eksekutif.
Tahun 1978, dia memutuskan untuk kembali ke London dan tinggal di sebuah kamar di London. Ayahnya kecewa dengan keputusan itu, namun Mihir sudah bertekad menjadi penulis dan meninggalkan bau-bau nepotisme di belakang.
Secara sepintas hidup Mihir Bose jelas lebih susah di London, paling tidak pada saat itu.
Jadi asumsi para pendatang mau hidup enak-enak juga jelas terbantahkan oleh jalan hidupnya, walau tak bisa juga disimpulkan hidup di rantau lebih susah daripada di kampung sendiri.
Sering sekali hidup memang bukan untuk dinilai-nilai atau dibanding-bandingkan, tapi untuk dijalani -sebagai pendatang atau orang asli.
Cuma orang asli mungkin tidak paham soal itu, dan sebagian memilih untuk lebih percaya pada mitos tentang imigrasi.

Courtesy : BBC News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar